Kamis, 15 Agustus 2019

Serba Serbi Palang Merah




SEJARAH LAHIRNYA PALANG MERAH INDONESIA

21 Oktober 1873
Pemerintah kolonial Belanda mendirikan organisasi Palang Merah di Indonesia dengan nama Het Nederland-Indiche Rode Kruis (NIRK) yang kemudian namannya menjadi Nederlands Rode Kruiz Afdelinbg Indie (NERKAI).

1932 dan 1940
Pada 1932 timbul semangat untuk mendirikan Palang Merah Indonesia (PMI) yang dipelopori oleh dr. RCL. Senduk dan Bahder Djohan. Kemudian, proposal pendirian diajukan pada kongres NERKAI (1940), namun ditolak. Pada saat penjajahan Jepang, proposal itu kembali diajukan, namun tetap ditolak.

3 September 1945
Pada 3 September 1945 Presiden Soekarno memerintahkan kepada Menteri Kesehatan dr. Buntaran Martoatmodjo untuk membentuk suatu Badan Palang Merah Nasional untuk menunjukan kepada dunia internasional bahwa keberadaan Negara Indonesia adalah suatu fakta nyata setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

5 September 1945
Pada 5 September 1945, dr. buntaran membentuk Panitia Lima yang terdiri dari dr. R. Mochtar, dr. Bahder Johan, dr. Joehana, Dr. Marjuki dan dr. Sitanala, untuk mempersiapkan pembentukan Palang merah di Indonesia.

17 September 1945
Tepat pada tanggal 17 September 1945 terbentuklah Pengurus Besar Palang Merah Indonesia (PMI) dengan ketua pertama, Drs. Mohammad Hatta.

16 Januari 1950
Di dalam satu negara hanya ada satu perhimpunan nasional, maka Pemerintah Belanda membubarkan NERKAI dan menyerahkan asetnya kepada PMI. Pihak NERKAI diwakili oleh dr. B. Van Trich sedangkan dari PMI diwakili oleh dr. Bahder Djohan.

1950 dan 1963
PMI terus melakukan pemberian bantuan hingga akhirnya Pemerintah Republik Indonesia Serikat mengeluarkan Keppres No. 25 tanggal 16 Januari 1950 dan dikuatkan engan Keppres No. 246 tanggal 29 November 1963. Pemerintah Indonesia mengakui keberadaan PMI.
Adapun tugas utama PMI berdasarkan Keppres RIS No. 25 tahun 1950 dan Keppres RI No. 246 tahun 1963 adalah untuk memberikan bantuan pertama pada korban bencana alam dan korban perang sesuai dengan isi Konvensi Jenewa 1949.

1950
Secara Internasional, keberadaan PMI diakui oleh Komite Palang Merah Internasional (ICRC) pada 15 Juni 1950. Setelah itu, PMI diterima menjadi anggota Perhimpunan Nasional ke-68 oleh Liga Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Liga) yang sekarang disebut Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) pada Oktober 1950.

Tahun 2018
PMI adalah organisasi kemanusiaan yang berstatus badan hukum, diundangkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan guna menjalankan kegiatan Kepalangmerahan sesuai dengan Konvensi Jenewa Tahun 1949, dengan tujuan untuk mencegah dan meringankan penderitaan dan melindungi korban tawanan perang dan bencana, tanpa membedakan agama, bangsa, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, golongan, dan Pandangan Politik.

Adapun tugas yang dilakukan PMI adalah:
Ø  Memberikan bantuan kepada korban konflik bersenjata, kerusuhan dan lainnya;
Ø  Memberikan pelayanan darah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Ø  Melakukan pembinaan relawan;
Ø  Melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan Kepalangmerahan;
Ø  Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan kegiatan Kepalangmerahan;
Ø  Membantu dalam penanganan musibah dan/atau bencana di dalam dan di luar negeri;
Ø  Membantu pemberian pelayanan kesehatan dan sosial; dan
Ø  Melaksanakan tugas kemanusiaan lainnya yang diberikan oleh pemerintah.

Saat ini
Saat ini, PMI telah berdiri di 33 Provinsi, 474 Kabupaten/Kota dan 3.406 Kecamatan (data per-Februari 2019). PMI mempunyai hampir 1,5 juta sukarelawan yang siap melakukan pelayanan.

SEJARAH LAHIRNYA GERAKAN

Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant, berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka.

Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul "Kenangan dari Solferino", yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan:
  1. Pertama, membentuk organisasi kemanusiaan internasional, yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang.
  2.  Kedua, mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang. 

Selanjutnya Dunant mengirimkan buku tersebut kepada keluarga-keluarga terkemuka di Eropa, para pemimpin Militer, politikus, dermawan & teman-temannya.

Usaha tersebut membuahkan hasil yang tak terduga, Dunant diundang kemana-mana dan dipuji dimana-mana.

Banyak orang tertarik dengan ide Henry Dunant termasuk Gustave Moynier seorang pengacara dan Ketua The Geneva Public Welfare Society (GPWS) mengajak Dunant mengemukakan idenya dalam pertemuan GPWS tgl. 9 Februari 1863 di Jenewa. 160 dari 180 orang anggota GPWS mendukung ide Henry Dunant.

Pada saat itu juga ditunjuklah Empat Orang anggota GPWS dan dibentuklah KOMITE LIMA untuk memperjuangkan terwujudnya ide Henry Dunant, mereka adalah:

1. Gustave Moynier
2. Dr. Louis Appia 
3. Dr. Theodore Maunier
4. Jenderal Guillame-Hendri Dufour 
5. Henry Dunant


Mereka bersama-sama membentuk "Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera", yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC).

 








Adapun Henry Dunant, walaupun bukan anggota GPWS, namun dalam Komite tersebut ditunjuk menjadi Sekretaris. Pada tanggal 17 Februari 1863 Komite Lima berganti nama menjadi KOMITE TETAP INTERNASIONAL UNTUK PERTOLONGAN PRAJURIT YANG TERLUKA sekaligus mengangkat ketua baru yaitu Jendral Guillame Henri Dufour.

Dalam rapat tanggal 25 Agustus 1863 Komite Tetap memutuskan untuk menyelenggarakan suatu Komperensi Internasional.

Sebagai suatu lembaga yang bersifat Internasional, sebutan PALANG MERAH INTERNASIONAL, barulah dikenal pada tahun 1867 pada Konperensi Palang Merah ke I di Paris dengan komponen-komponen: KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH dan PERHIMPUNAN – PERHIMPUNAN NASIONAL PALANG MERAH.

Konperensi diikuti utusan-utusan dari : Austria, Belgia, Belanda, Italy, Norwegia, Portugal, Rusia, Spanyol, Sudan, Swedia dan Swiss.

Setelah terbentuknya LIGA PERHIMPUNAN NASIONAL PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH pada tahun 1919, barulah kedudukan PALANG MERAH INTERNASIONAL sebagai lembaga yang mempunyai statuta sendiri, dikukuhkan melalui Konperensi Internasional pada tahun 1928 di Den Haag dengan komponen-komponennya terdiri dari:


LIGA PERHIMPUNAN NASIONAL PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH

KOMITE INTERNASIONAL PALANG MERAH


PERHIMPUNAN-PERHIMPUNAN PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH NASIONAL

Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.

Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya "Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang". Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah. Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.


PALANG MERAH INTERNASIONAL

Komite Internasional Palang Merah/International Committee of the Red Cross (ICRC) dibentuk pada tahun 1863 dan bermarkas besar di Swiss. ICRC merupakan lembaga kemanusiaan yang bersifat mandiri dan sebagai penengah yang netral. ICRC berdasarkan prakarsanya atau konvensi-konvensi Jenewa 1949 berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban dalam pertikaian bersenjata internasional maupun kekacauan dalam negeri. Selain memberikan bantuan dan perlindungan untuk korban perang, ICRC juga bertugas untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Perikemanusiaan internasional.

Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah didirikan hampir di setiap negara di seluruh dunia dan kini berjumlah 176 Perhimpunan Nasional, termasuk Palang Merah Indonesia (PMI). Kegiatan perhimpunan nasional beragam seperti bantuan darurat pada bencana, pelayanan kesehatan, bantuan sosial, pelatihan P3K dan pelayanan transfusi darah. Persyaratan pendirian suatu perhimpunan nasional diantaranya adalah:
  1. Mendapat pengakuan dari pemerintah negara yang sudah menjadi peserta Konvensi Jenewa 
  2. Menjalankan Prinsip Dasar Gerakan

Bila demikian ICRC akan memberi pengakuan keberadaan perhimpunan tersebut sebelum menjadi anggota Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah/International Federation of Red Cross and Red Crescent (IFRC), Pendirian Federasi diprakarsai oleh Henry Davidson warga negara Amerika yang disahkan pada suatu Konferensi Internasional Kesehatan pada tahun 1919 untuk mengkoordinir bantuan kemanusiaan, khususnya saat itu untuk menolong korban dampak paska perang dunia I dalam bidang kesehatan dan sosial. Federasi bermarkas besar di Swiss dan menjalankan tugas koordinasi anggota Perhimpunan Nasional dalam program bantuan kemanusiaan pada masa damai, dan memfasilitasi pendirian dan pengembangan organisasi palang merah nasional.



PERTEMUAN ORGANISASI PALANG MERAH INTERNASIONAL

Sesuai dengan Statuta dan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menyebutkan empat tahun sekali diselenggarakan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (Internasional Red Cross Conference). Konferensi ini dihadiri oleh seluruh komponen Gerakan Palang Merah Internasional (ICRC, perhimpunan nasional dan Federasi Internasional) serta seluruh negara peserta Konvensi Jenewa. Konferensi ini merupakan badan tertinggi dalam Gerakan dan mempunyai mandat untuk membahas dan memutuskan semua ketentuan internasional yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan kepalangmerahan yang akan menjadi komitmen semua peserta.

Dua tahun sekali, Gerakan Palang Merah Internasional juga mengadakan pertemuan Dewan Delegasi (Council of Delegates), yang anggotanya terdiri atas seluruh komponen Gerakan. Dewan Delegasi akan membahas permasalahan yang akan dibawa dalam konferensi internasional. Suatu tim yang dibentuk secara khusus untuk menyiapkan pertemuan selang antar konferensi internasional yaitu Komisi Kerja (Standing Commission).

Bersamaan dengan pertemuan tersebut khusus untuk Federasi Internasional dan anggota perhimpunan nasional juga mengadakan pertemuan Sidang Umum (General Assembly) sebagai forum untuk membahas program kepalangmerahan dan pengembangannya. 

KOMITMEN KEMANUSIAAN

Berikut adalah garis besar program kemanusiaan kepalangmerahan yang terakomodasi antara lain dalam kesepakatan Federasi Internasional (Strategi 2010); Komitmen Regional anggota Perhimpunan (Deklarasi Hanoi) dan kesepakatan Konferensi Internasional (Plan of Action).

STRATEGI 2010

Strategi 2010 (S-2010) adalah seperangkat strategi Federasi Internasional dalam menghadapi tantangan kemanusiaan pada dekade menantang. Dokumen yang diadopsi Sidang Umum pada tahun 1999 ini menjabarkan misi Federasi yaitu: "Memperbaiki hajat hidup masyarakat rentan dengan memobilisasi kekuatan kemanusiaan". Tiga tujuan utama yang strategis adalah:

A. Memperbaiki Hajat Hidup masyarakat Rentan
Strategi ini terfokus melalui empat bidang inti, yaitu:
  1. Promosi Prinsip-Prinsip dasar Gerakan dan nilai-nilai kemanusiaan;
  2. Penanggulangan Bencana;
  3. Kesiapsiagaan penanggulangan bencana; dan
  4. Kesehatan dan perawatan di masyarakat.
Keempat bidang ini adalah suatu paket yang integral dan saling terkait satu sama lain, yang memiliki dua dimensi yaitu pelayanan dan advokasi.

B. Memobilisasi Kekuatan Kemanusiaan
Pengerahan kapasitas organisasi untuk pelayanan ini akan terjadi bila perhimpunan nasional berfungsi dengan baik. Artinya ada mekanisme organisasi, pengembangan kapasitas, memobilisi sumber keuangan dengan mengembangkan kemitraan dan mengoptimalkan komunikasi dalam Perhimpunan Nasional.

C. Bekerjasama Secara Efektif
Adanya perhimpunan nasional yang kuat akan membentuk sebuah Federasi yang kuat , efektif dan efisien yaitu dengan mengembangkan kerjasama subregional dan mengimplementasikan strategi gerakan, kemitraan dengan organisasi internasional lainnya, memobilisasi publik dan advokasi penentu kebijakan serta mengkomunikasikan pesan-pesan dan misi Federasi Internasional.

DEKLARASI HANOI “United for Action”

Dokumen ini disahkan melalui Konferensi Regional V di Hanoi, Vietnam pada tahun 1998, yang disepakati oleh 37 perhimpunan nasional se Asia Pasifik dan Timur Tengah yang bertekad , walau beragam budaya, geografis dan latar belakang lainnya, untuk bersatu demi suatu aksi kemanusiaan.

Kecenderungan bencana alam serta krisis moneter secara global telah melanda wilayah regional dan berdampak pada permasalahan imigrasi penduduk karena menghendaki perbaikan hidup, krisis ekonomi yang menyebabkan angka pengangguran yang semakin meningkat serta berjangkitnya wabah penyakit. Hal ini menjadi tantangan bagi Palang Merah untuk membantu meringankan penderitaan umat manusia.

Deklarasi Hanoi memfokuskan penanganan program pada isu-isu berikut:
1.   Penanggulangan bencana
2.  Penanganan wabah penyakit
3.  Remaja dan Manula
4.  Kemitraan dengan pemerintah
5.  Organisasi dan Manajemen kapasitas sumber daya
6.  Hubungan masyarakat dan promosi

website : 

http://www.pmi.or.id/index.php/tentang-kami/sejarah-pmi.html?showall=1&limitstart= 

Rabu, 14 Agustus 2019

Donor Darah Sukarela



Pelayanan darah adalah upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Peraturan Pemerintah N0. 7/ 2011 tentang Pelayanan Darah menyebutkan penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit Donor Darah (UDD) yang diselenggarakan oleh organisasi sosial dengan tugas pokok dan fungsinya di bidang Kepalangmerahan atau dalam hal ini Palang Merah Indonesia (PMI).

Dalam UU No. 36/2009 tentang Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah No.7/2011 tentang Pelayanan Darah, dinyatakan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pendanaan pelayanan darah untuk kepentingan pelayanan kesehatan.

Sesuai penjelasan UU No. 36/2009 tentang Kesehatan Pasal 90 dan PP No. 7/2011 tentang Pelayanan Darah Pasal 46, jaminan pendanaan pemerintah diwujudkan dalam bentuk pemberian subsidi kepada UDD dari APBN, APBD dan bantuan lainnya.

Kebutuhan Darah Nasional

PMI terus mengampanyekan donor darah sebagai bagian dari gaya hidup (lifestyle). Setiap tahunnya, PMI menargetkan hingga 4,5 juta kantong darah sesuai dengan kebutuhan darah nasional, disesuaikan dengan standar Lembaga Kesehatan Internasional (WHO) yaitu 2% dari jumlah penduduk untuk setiap harinya.  

Keamanan Darah

Untuk menjaga keamanan darah terhadap resiko penularan infeksi dari donor kepada pasien penerima darah, setiap kantong darah harus diuji saring terhadap infeksi, antara lain terhadap Sifilis, Hepatitis B, Hepatitis C dan HIV.  Uji saring Sifilis telah dilaksanakan sejak tahun 1975 dan saat ini ditujukan terhadap antibodi treponema pallidum menggunakan reagensia TPHA. Uji saring Hepatitis B ditujukan terhadap HBsAg, Hepatitis C terhadap anti-HCV dan HIV terhadap anti-HIV. Metoda uji saring yang digunakan adalah Elisa (70% donasi), Rapid Test (30% donasi) dan NAT.

Jumlah Unit Donor Darah (UDD)

Hingga tahun 2012, PMI telah mendirikan UDD sebanyak 1 UDD Pusat di Jakarta dan 211 UDD di 210 Kabupaten/Kota. Pelayanan darah yang dilaksanakan oleh UDD PMI meliputi: pengerahan dan pelestarian donor, pengambilan darah, pengolahan komponen darah, uji saring infeksi, penyimpanan dan pendistribusian darah ke Bank Darah RS (BDRS) atau Rumah Sakit (RS).  Untuk mencapai pemenuhan kebutuhan darah, PMI telah melakukan peningkatan rekrutmen donor, jejaring penyediaan darah antar UDD PMI serta ikatan kerjasama antara UDD PMI dengan BDRS.

Peningkatan rekrutmen donor dilaksanakan melalui kampanye di berbagai media baik elektronik maupun cetak serta kerjasama dengan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli atas donor darah. Sedangkan jejaring penyediaan darah di UDD PMI dilaksanakan dengan jalan memperluas penerapan Sistim Informasi Manajemen (SIM) sehingga komunikasi antar UDD PMI terkait penyediaan darah menjadi lebih mudah.

Kemudahan Berdonor Darah

Selain bisa mendonorkan darah melalui 211 Unit Donor Darah (UDD) di 210 kabupaten dan kota se-Indonesia, PMI juga menyediakan kemudahan lainnya. Sejak pertengahan Juni 2010, PMI telah membuat Gerai Donor Darah dengan harapan akan memudahkan masyarakat untuk mendonorkan darahnya di tempat-tempat publik dan pusat-pusat keramaian di tengah kota, yaitu Mal dan Kampus.

PMI juga telah memobilisasi 100 unit mobil donor darah di pertengahan Juli 2011. PMI menggandeng para mitra kerjanya untuk membantu menyediakan mobil donor darah ini yang akan disebar di UDD PMI di 33 propinsi. Dengan adanya mobil donor darah ini, akan tercapai penyediaan darah rutin dan mencukupi kebutuhan sampai dengan 4 hari, sesuai dengan semboyan 4 x 4; 4 juta kantong darah dengan 4 hari persediaan darah di seluruh Indonesia.

Upaya PMI lainnya untuk masyarakat adalah mengupayakan penurunan biaya satuan darah dengan mendirikan pabrik kantong dan fraksionasi plasma.  

Penghargaan Untuk Donor Darah Sukarela (DDS)

Hasil pengumpulan donasi kantong darah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berawal dari 28.265 kantong darah pada tahun 1969 hingga 1,7 juta kantong darah di tahun 2008. Darah disumbangkan oleh donor darah sukarela (DDS) yang mendominasi 83 % dari seluruh donasi darah.

Sebagai penghargaan terhadap para DDS, PMI memberikan piagam penghargaan kepada DDS yang telah menyumbangkan darahnya sebanyak 15 kali, 30 kali, 50 kali, 75 kali, dan 100 kali. Khusus untuk DDS 100 kali, PMI bekerjasama dengan Departemen Sosial memberikan penghargaan berupa Satyalancana Kebaktian Sosial yang disematkan langsung oleh Presiden RI.



Biaya Pengganti Pengolahan Darah (Service cost)

Pengelolaan darah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sebut saja, mulai dari proses awal seperti ketersediaan formulir calon donor, kapas, dan alat untuk mengecek Hb donor, jarum, selang dan kantong yang digunakan untuk proses donor dan menyimpan darah, tentu harus dibeli dan harganya tidak murah. Belum lagi berbagai komponen yang diperlukan untuk memeriksa darah di laboratorium, menyimpan darah di tempat khusus dengan suhu dan kondisi lain yang terjadi, hingga proses pengecekan kecocokan darah yang tersedia dengan donor darah sampai dengan proses transfusi, juga membutuhkan biaya. Termasuk tentunya, bagaimana prosedur pemusnahan darah yang tidak layak digunakan, juga membutuhkan biaya operasional.

Biaya ini berasal dari subsidi pemerintah maupun subsidi PMI. Sisanya? Dibebankan kepada pasien. Susa beban biaya yang tidak tersubsidi ini dinamakan Biaya Penggantian Pengelolaan Darah (BPPD) atau service cost. Jadi, bukan menjual darah melainkan menggantikan biaya pengolahan darah agar aman untuk ditransfusikan kepada pasien. Adapun komponen darahnya sendiri tidak dikenakan biaya.



Pengurus RAIN 2021 - 2022